Skrofuloderma

Skrofuloderma
Gambaran skrofuloderma pada leher pengidapnya.

Bagikan :


Definisi

Skrofuloderma merupakan infeksi kulit yang terjadi di dekat organ atau bagian tubuh lainnya yang terinfeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Skrofuloderma sendiri merupakan infeksi tuberkulosis pada kulit yang paling sering terjadi. Namun, infeksi tuberkulosis pada kulit jarang terjadi. Di antara semua penderita tuberkulosis di luar paru, angka kejadian skrofuloderma adalah 3,5% per tahunnya.  

 

Penyebab

Infeksi tuberkulosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini mudah menular melalui udara. Biasanya, infeksi tuberkulosis terjadi pada paru, namun infeksi ini dapat pula menyebar ke organ tubuh lainnya. Penyebaran ini dapat terjadi lewat kontak langsung dengan pusat infeksi atau melalui peredaran darah. Selain pada paru, infeksi tuberkulosis juga dapat terjadi pada organ lainnya seperti kelenjar getah bening, tulang, kulit, sendi, testis, usus, dan sebagainya. Infeksi tuberkulosis tersering di luar paru merupakan infeksi kelenjar getah bening, yang disebut sebagai limfadenitis TB.

Infeksi tuberkulosis pada kulit dapat terjadi akibat infeksi secara langsung pada kulit (misalnya akibat tindik telinga, tato, atau luka pada kulit lainnya), lewat organ lainnya, atau lewat peredaran darah. Selain itu, gejala infeksi tuberkulosis kulit sendiri banyak macamnya (tergantung jenis penularannya), salah satunya skrofuloderma. Skrofuloderma terjadi akibat penyebaran infeksi tuberkulosis dari kelenjar getah bening atau tulang di dekatnya yang terinfeksi tuberkulosis. Skrofuloderma paling sering terjadi di daerah leher dan di bawah rahang, namun dapat pula melibatkan kelenjar getah bening pada daerah ketiak, dekat telinga, dan tengkuk.

Perjalanan skrofuloderma seringkali tidak disadari dan terjadi dalam jangka waktu panjang (kronik). Infeksi tuberkulosis pada kelenjar getah bening, misalnya, akan membentuk saluran-saluran kecil yang menembus ke kulit. Saluran-saluran ini dapat mengeluarkan nanah sewaktu-waktu. Dalam perjalanannya, saluran-saluran ini dapat mengeluarkan nanah terus-menerus, membentuk tukak, atau bahkan sembuh sendiri.

 

Faktor Risiko

Faktor risiko skrofuloderma sama dengan faktor risiko tuberkulosis di luar paru lainnya, yaitu penurunan sistem pertahanan tubuh. Penurunan sistem pertahanan tubuh ini dapat disebabkan oleh penyakit seperti HIV/AIDS, diabetes, atau pengobatan setelah cangkok organ, dan pengobatan penyakit-penyakit autoimun (sistem pertahanan tubuh menyerang organ tubuh sendiri). Selain itu, skrofuloderma paling berisiko terjadi pada orang yang mengalami limfadenitis TB.

 

Gejala

Gejala skrofuloderma adalah adanya benjolan pada kulit yang keras dan tidak nyeri, yang seiring waktu akan dapat pecah membentuk luka seperti tukak. Tukak ini biasanya memiliki tepi yang tidak rata dan memiliki jaringan mati pada dasarnya.

Jika skrofuloderma disertai dengan tuberkulosis paru, pasien dapat mengeluhkan batuk berdahak yang lebih dari 2 minggu, demam tidak tinggi, malaise (rasa tidak enak badan), berkeringat banyak pada malam hari, serta penurunan berat badan yang cukup drastis dalam waktu singkat tanpa diinginkan.

 

Diagnosis

Diagnosis skrofuloderma cukup sulit karena penampakan luka pada kulit tidak selalu khas. Namun, seseorang dengan skrofuloderma biasanya memiliki riwayat adanya benjolan pada leher yang tidak kunjung sembuh, yang kemudian “pecah” dan mengeluarkan nanah. Riwayat lainnya juga dapat berupa faktor risiko infeksi tuberkulosis di luar paru, seperti adanya penurunan sistem pertahanan tubuh yang disebabkan oleh berbagai faktor. Dokter dapat melakukan pemeriksaan dengan mengambil bagian yang luka untuk dikultur (dikembangbiakkan) di laboratorium untuk menemukan penyebab infeksi. Namun, hasil pengembangbiakkan bakteri dari luka yang ada pada skrofuloderma juga belum tentu memiliki hasil positif.

Selain itu, dokter juga dapat melakukan pemeriksaan dengan uji tuberkulin. Uji ini dilakukan dengan menyuntikkan protein dari bakteri yang dapat memicu respon peradangan tubuh. Tes ini dinyatakan positif jika ada respon peradangan tubuh pada bagian yang disuntikkan. Namun, protein ini sendiri tidak dapat menyebabkan infeksi tuberkulosis.

Dokter juga dapat mengambil sebagian luka (disebut sebagai biopsi) untuk diamati di bawah mikroskop. Biopsi ini dapat menunjukkan adanya sel-sel yang mati, nanah, dan sel-sel peradangan tubuh. Dari hasil biopsi atau pengambilan nanah, dokter juga dapat mencari bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk bulat panjang (basil) dan tahan terhadap suasana asam, sehingga pemeriksaan untuk menemukan bakteri ini disebut sebagai pemeriksaan basil tahan asam (BTA).

Selain pemeriksaan di atas, dokter juga dapat melakukan pemeriksaan rontgen dada, karena skrofuloderma sangat terkait dengan infeksi tuberkulosis pada paru. Tidak hanya itu, jika penderita mengalami batuk berdahak, dokter dapat meminta penderita untuk menampung dahak (sputum). Dahak yang ditampung ini kemudian akan digunakan untuk pemeriksaan BTA.

 

Tata Laksana

Tata laksana skrofuloderma mengikuti tata laksana infeksi tuberkulosis pada umumnya, yaitu pemberian obat antituberkulosis (OAT). Tata laksana infeksi tuberkulosis dilakukan selama minimal 6 bulan, sehingga ketaatan dan kepatuhan penderita dalam konsumsi obat juga dapat mempengaruhi kesembuhan. Pengobatan yang lama ini dapat menyebabkan kejenuhan, terutama apabila gejala sudah hilang sebelum pengobatan selesai. Pengobatan yang tidak selesai dapat menyebabkan bakteri tuberkulosis tidak mati dengan tuntas, sehingga dapat menyebabkan infeksi ulang yang kemungkinan lebih parah. Penyelesaian terapi sangat menurunkan risiko infeksi TB ulang dalam bentuk apapun, termasuk skrofuloderma.

Tata laksana tuberkulosis dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif dan fase lanjutan. Pada fase intensif, penderita akan mengonsumsi empat antibiotik sekaligus (isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol) selama 2 bulan. Selanjutnya, pada fase lanjutan, penderita hanya akan mengonsumsi dua jenis obat, yaitu isoniazid dan rifampisin. Obat-obatan ini tergabung dalam tablet kombinasi dosis tetap (KDT). Sediaan KDT sudah disesuaikan untuk fase intensif dan fase lanjutan, sehingga Anda tidak perlu khawatir meminum banyak obat sekaligus. Dokter juga biasanya akan memberikan vitamin B6 untuk mencegah efek samping isoniazid berupa masalah saraf.

Namun, pemberian antibiotik dapat menyebabkan efek samping. Efek samping ini dapat berupa alergi, hepatitis (peradangan pada hati yang disebut pula sakit kuning), nyeri akibat masalah pada saraf, masalah penglihatan, masalah pendengaran, pusing berputar (vertigo), kebingungan yang akut, serta gagal ginjal, yang ditandai dengan penurunan jumlah kencing. Jika Anda mengalami gejala-gejala seperti ini, Anda dapat berkunjung ke dokter. Dokter kemudian akan menyesuaikan terapi obat yang diberikan.

Selain itu, antibiotik juga dapat berinteraksi dengan obat-obatan lainnya. Interaksi ini dapat menyebabkan obat tertentu memiliki kadar yang jauh lebih tinggi dalam darah hingga menyebabkan keracunan, atau sebaliknya, terlalu sedikit untuk dapat menyembuhkan. Jika Anda menjalani pengobatan lainnya seperti diabetes, penyakit jantung, HIV/AIDS, dan sebagainya, Anda perlu memberitahu dokter sebelum terapi OAT dimulai.

Dokter juga dapat melakukan terapi tambahan untuk skrofuloderma seperti pembedahan. Pembedahan ini biasanya dilakukan pada kelenjar getah bening yang terinfeksi. Pembedahan ini dapat dilakukan menggunakan listrik (electrosurgery), nitrogen cair (cryotherapy), serta kuret atau pengambilan kelenjar getah bening yang terinfeksi. Namun, terapi-terapi ini hanya merupakan tambahan dari terapi utama berupa pemberian antibiotik.

 

Komplikasi

Skrofuloderma dapat sembuh sendiri namun tidak sempurna sehingga meninggalkan bekas. Komplikasi skrofuloderma sendiri dapat berupa adanya luka di leher yang terus-menerus mengeluarkan nanah serta adanya infeksi tuberkulosis pada paru. Luka di leher dapat memicu infeksi dengan bakteri lainnya, sehingga dapat menyebabkan komplikasi yang tidak diinginkan seperti masuknya bakteri ke dalam darah dan menyebabkan infeksi ke seluruh tubuh.

 

Pencegahan

Skrofuloderma dapat dicegah dengan melakukan pencegahan penularan tuberkulosis. Jika Anda diketahui terinfeksi tuberkulosis dalam bentuk apapun, Anda dapat melakukan hal sebagai berikut:

  • Tetap di rumah. Anda sangat tidak disarankan untuk bekerja, bersekolah, kuliah, atau bahkan tidur di ruang yang sama dengan orang lain yang tidak terinfeksi
  • Memastikan perputaran udara baik. Bakteri tuberkulosis mudah menyebar di ruangan yang tertutup. Jika udara di luar rumah tidak terlalu dingin, Anda dapat membuka jendela dan menggunakan kipas angin untuk memastikan perputaran udara baik
  • Menutup mulut Anda. Anda dapat menggunakan tisu ketika tertawa, bersin, atau batuk. Setelah itu, Anda dapat membungkus tisu tersebut dengan plastik hingga rapat, lalu dibuang
  • Menggunakan masker. Jika Anda harus bertemu dengan orang lain, Anda sangat disarankan memakai masker untuk menurunkan risiko penularan tuberkulosis
  • Menyelesaikan pengobatan. Pengobatan tuberkulosis dan skrofuloderma yang cukup lama dapat menyebabkan kejenuhan dan efek samping yang tidak nyaman, namun Anda perlu untuk menyelesaikan pengobatan tersebut agar bakteri tuberkulosis tuntas terbasmi dari tubuh Anda

Pencegahan tuberkulosis lainnya merupakan imunisasi BCG (Bacille Calmette-Guerrin) yang menggunakan bakteri sejenis tuberkulosis, yaitu Mycobacterium bovine. Namun, imunisasi ini hanya efektif diberikan pada dua bulan pertama kehidupan, terutama di Indonesia, karena infeksi tuberkulosis di Indonesia sangat lazim terjadi.

Pencegahan juga dapat dilakukan dengan skrining tuberkulosis. Skrining tuberkulosis digalakkan di Indonesia, terutama pada individu berisiko. Risiko tersebut dapat berupa adanya kontak dengan pasien tuberkulosis (terutama pada anak), penderita HIV/AIDS, penderita diabetes, orang-orang yang mengonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, dan sebagainya. Skrining ini dapat membantu penemuan kasus tuberkulosis yang tidak bergejala (laten) maupun yang bergejala (aktif). Pengobatan tuberkulosis yang dilakukan secepat mungkin dapat mencegah penyebaran infeksi tuberkulosis ke luar paru, seperti skrofuloderma.

 

Kapan Harus ke Dokter?

Anda dapat berkunjung ke dokter jika Anda mengalami gejala skrofuloderma seperti benjolan pada leher yang tidak kunjung hilang dan mengeluarkan nanah, atau ketika Anda mengalami efek samping dari pengobatan dengan OAT. Jika Anda memiliki pertanyaan seputar penyakit atau pengobatan Anda, Anda sangat disarankan untuk bertanya pada dokter yang menangani Anda, untuk mencegah misinformasi dan kesalahpahaman.

 

Mau tahu informasi seputar penyakit lainnya? Cek di sini, ya!

 

Writer : dr Teresia Putri
Editor :
  • dr Anita Larasati Priyono
Last Updated : Selasa, 31 Mei 2022 | 07:28

Charifa, A., Mangat, R., & Oakley, A. (2021). Cutaneous Tuberculosis. Retrieved 26 May 2022, from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482220/

Gupta, S., & Roy, R. (2021). Scrofuloderma: A Rare Case Report of Sequelae of Intestinal Tuberculosis. International Journal Of Dermatology And Venereology, 4(3), 185-187. doi: 10.1097/jd9.0000000000000165

Medications to treat tuberculosis. (2022). Retrieved 26 May 2022, from https://www.healthywa.wa.gov.au/Articles/J_M/Medications-to-treat-tuberculosis

Mello, R., Vale, E., & Baeta, I. (2019). Scrofuloderma: a diagnostic challenge. Anais Brasileiros De Dermatologia, 94(1), 102-104. doi: 10.1590/abd1806-4841.20188560

Nall, R., & Seladi-Schulman, J. (2018). Scrofula: Definition, Pictures, and Symptoms. Retrieved 26 May 2022, from https://www.healthline.com/health/scrofula

Ngan, V., & Oakley, A. (2021). Cutaneous tuberculosis (TB) | DermNet NZ. Retrieved 26 May 2022, from https://dermnetnz.org/topics/cutaneous-tuberculosis

Tuberculosis - Symptoms and causes. (2021). Retrieved 26 May 2022, from https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/tuberculosis/symptoms-causes/syc-20351250